MALANG — Di tengah semangat mahasiswa yang memenuhi aula Universitas Muhammadiyah Malang, Rabu (29/10), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia tampil bukan sekadar sebagai pejabat negara, tapi lebih seperti kakak senior yang sedang memantik semangat adik-adiknya. Pesannya sederhana tapi dalam: masa depan energi Indonesia ada di tangan pemuda yang mau berproses.
“Masa depan negara ini ada di tangan pemuda. Tapi pemuda yang berproses, yang betul-betul menyiapkan diri,” ujarnya dalam sambutan di Tanwir Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) XXXIII. Kalimatnya disambut tepuk tangan meriah, menandakan pesan itu kena di hati audiens muda yang sedang mencari arah peran dalam masa depan bangsa.
Bahlil tak berhenti di motivasi. Ia bicara fakta dan tantangan energi dengan gaya lugas. Menurutnya, Indonesia masih bergantung pada impor bahan bakar, padahal potensi energi lokal begitu besar. “Konsumsi solar kita 34 juta ton per tahun. Sekarang kita blending dari B10 sampai B40, impor kita tinggal 4,9 juta barel per tahun. Tahun 2025 kita dorong ke B50, campurannya dari CPO ke etanol,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa kebijakan seperti B50 dan E10 (campuran etanol untuk bensin) bukan hanya soal teknologi, tapi juga perjuangan menjaga kedaulatan. Di balik angka-angka itu, ada upaya agar Indonesia berdiri di atas kaki sendiri, tak tergantung pada pasokan luar negeri.
“Pasti banyak yang tidak suka, karena mereka biasa diuntungkan oleh kuota impor,” kata Ketua Umum DPP Partai Golkar ini dengan tegas. “Tapi demi kedaulatan Ibu Pertiwi, sejengkal pun saya tidak akan mundur.”
Suasana hening sejenak. Di baris depan, beberapa mahasiswa mengangguk. Mungkin mereka mulai melihat isu energi bukan sekadar urusan teknis, tapi juga soal kemandirian dan martabat bangsa.
Bahlil kemudian mengajak para mahasiswa tak hanya jadi penonton. Kritik, katanya, adalah vitamin bagi kebijakan. “Kalian kritik, itu gizi bagi saya. Bukan saya benci, tapi kalian adalah bagian dari kebesaran saya,” ucap Bahlil Lahadalia, kali ini disertai senyum yang meluruhkan ketegangan ruangan.
Forum Tanwir IMM kali ini seolah jadi jembatan antara idealisme muda dan realitas kebijakan energi nasional. Bahlil tak hanya ingin mereka paham soal transisi energi, tapi juga ikut menciptakan solusi: lewat riset, teknologi, atau sekadar menyebarkan kesadaran di lingkungan kampus dan masyarakat.
Di akhir acara, semangat terasa menular. Para mahasiswa berdiskusi kecil, beberapa mencatat ide, dan sebagian lain memotret slide tentang “B50 dan E10” untuk dibahas lagi nanti. Di situ terasa jelas: Bahlil tak sekadar memberi ceramah tentang energi. Ia sedang menyalakan api kecil di dada anak muda—api yang, siapa tahu, suatu hari akan jadi sumber tenaga baru bagi Indonesia yang mandiri.
Energi bukan cuma soal listrik dan bahan bakar. Dalam pandangan Bahlil, energi sejati adalah semangat muda yang tak mau diam. Dan hari itu, di Malang, semangat itu menyala terang